Jumat, 19 Februari 2010

tugaZz makuuL Hukum dan HAM

ANALISIS PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA (EKSOSBUD) PADA MASYARAKAT PENGHUNI RUMAH DOME, NEW NGELEPEN, KABUPATEN SLEMAN, YOGYAKARTA

Gempa bumi berkekuatan 5,7 Skala Richter mengguncang daerah Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 26 Mei 2006 yang lalu. Musibah ini merusakkan ribuan rumah, tempat umum dan merenggut ribuan jiwa anggota masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Berbagai pihak terus menerus memberikan bantuan kepada para korban gempa tersebut dengan berbagai bentuk seperti makanan, sandang, obat-obatan dan lain-lain.

Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing asal Amerika Serikat pun ikut serta membantu para korban gempa tersebut. LSM asing itu dibawah naungan organisasi Domes for The World dan bekerja sama dengan World Association Non-Governmental Organizatons (Wango) dan Emmar Property mendirikan sebuah komplek rumah dome di desa Ngelepen, Sengir, Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang kemudian diberi nama New Ngelepen. Seperti namanya, rumah dome itu berbentuk setengah lingkaran atau layaknya parabola yang telungkup. Rumah dome tersebut terbukti mampu bertahan dari guncangan gempa dan hempasan angin topan. Di komlplek rumah dome terdiri dari 80 unit yang diantaranya 71 unit rumah hunian, 1 unit mushola, 1 unit tempat belajar dan bermain anak-anak, 1 unit klinik kesehatan dan 6 unit untuk MCK. Setiap MCK terdiri dari enam kamar mandi yang digunakan untuk 12 keluarga. Diameter masing-masing rumah dome yang dihuni sebesar 7 meter sedangkan diameter fasilitas umum sebesar 9 meter. Tiap rumah huni hanya memiliki 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur, dan untuk lantai 2 digunakan untuk ruang keluarga atau tergantung dari kebutuhan masing-masing keluarga. Rumah dome tersebut dibangun karena banyaknya tanah warga beserta rumahnya rusak berat sehingga tidak layak huni. Bahkan, adapula rumah yang tergeser sampai 30 meter dari tempat asalnya dan menurut peneliti asal Jepang, Prof. Junikito Sekki, meneliti bahwa tanah Desa Ngelepen sudah sangat labil dan terlalu banyak rekahan sehingga warga harus dipindahkan dari tempat asalnya.

Awal mulanya, warga sempat menolak pemberian rumah dome tersebut. Hal ini dikarenakan rumah dome tersebut sangat jauh berbeda baik dari segi kultur budaya, segi ekonomi maupun segi sosialnya. Masyarakat terbiasa dengan rumah yang berbentuk segi empat dan sangat luas sehingga agak sulit untuk beradaptasi dengan rumah dome yang sempit. Pada saat itu pun warga juga ditawarkan dana bantuan sebesar lima belas juta rupiah tiap keluarga untuk merekonstruksi sendiri rumah meraka yang rusak akibat gempa itu. Namun, harga bahan baku untuk pembangunan rumah pada tahun 2006 waktu itu sedang meningkat sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukannya rekonstruksi rumah warga dengan nilai bantuan sebesar itu. Warga dihadapi oleh dua pilihan antara menerima rumah dome atau menerima dana bantuan rekonstruksi sebesar lima belas juta rupiah. Atas pertimbangan hal yang telah dijelaskan di atas maka warga memilih menerima rumah dome tersebut sebagai rumah huninya.

Setelah tiga tahun warga menempati rumah dome itu, muncul berbagai permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam warga New Ngelepen namun masih bisa diselesaikan oleh warganya sendiri misalnya warga yang belum bisa beradaptasi dengan suasana di rumah dome itu yakni mereka yang terbiasa tinggal di rumah yang luas kini harus memperluas sendiri dapurnya dengan dinding bambu di bagian belakang rumah, warga yang terbiasa memasak menggunakan kayu bakar kini harus menggunakan kompor gas namun kesulitan untuk membeli gas karena harganya yang terlalu mahal dan pendapatan yang minim. Rumah dome di daerah Yogyakarta ini yang hanya ada di benua Asia sering dikunjungi oleh banyak orang, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dimanfaatkan untuk penelitian bahkan dijadikan sebagai wisata bagi orang-orang yang penasaran ingin melihat seperti apakah rumah dome itu. Hal ini menimbulkan keharusan warga untuk menyesuaikan diri berhadapan dengan orang-orang asing dari segala penjuru daerah. Bahkan, pernah terjadi kesenjangan sosial antara warga penghuni rumah dome dengan warga disekeliling rumah dome (warga penghuni rumah yang tidak terkena gempa) karena banyaknya perhatian dari berbagai pihak kepada warga penghuni rumah dome tersebut. Namun, menurut Bapak Sakiran selaku pengelola rumah dome New Ngelepen atau Ketua RT, masalah ini tidak menjadi kendala maupun hambatan bagi perkembangan masyarakat New Ngelepen.

Mayoritas warga New Ngelepen awal mulanya bermata pencaharian petani dan setelah terjadi gempa masih tetap menjadi petani namun warga kesulitan untuk menggarap sawahnya karena lokasi antara rumah dengan sawah terlampau jauh sehingga warga terpaksa harus berjalan kaki untuk sampai ke lokasi sawah mereka. Sama halnya dengan warga yang beternak, mereka terpaksa bergiliran menjaga ternaknya karena lokasi kandang ternak dengan rumah yang sangat jauh.

Permasalahan pokok yang meresahkan warga New Ngelepen hingga sekarang yang belum dapat diselesaikan adalah status kepemilikan tanah. Lokasi rumah-rumah ini menempati tanah kas daerah. Pada awal mula pembangunan rumah dome itu, warga dijanjikan bahwa tanah itu akan menjadi hak milik namun hingga akhirnya keluar Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Maret tahun 2008 bahwa tanah kas daerah tidak dibolehkan menjadi hak milik perseorangan. Hal ini yang menjadi polemik yang pelik bagi warga New Ngelepen karena status tanah yang tidak jelas. Bahkan, pada tanggal 1 November 2009 nanti masa sewa tanah tersebut akan habis dan akan diperpanjang selama dua tahun. Selama dua tahun itu, pengelola rumah dome itu akan berusaha agar status tanah itu berubah menjadi hak milik.

Mengacu pada ketentuan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Kewajiban negara dalam memenuhi salah satu hak asasi manusia tersebut haruslah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan hak warga New Ngelepen seharusnya lebih diutamakan. Pemerintah nampak tidak perduli terhadap hak-hak atas kepemilikan tanah bagi warga New Ngelepen yang manjadi korban gempa tahu 2006 lalu. Warga merasa kesulitan untuk mengusahakan tanah itu menjadi hak miliknya karena memang tanah itu merupakan tanah kas daerah yang menjadi kekayaan daerah itu sendiri serta termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Yogyakarta.

Menurut Bapak Sakiran, banyak tawaran-tawaran untuk membantu usaha warga New Ngelepen menjadikan status tanah itu sebagai hak milik warga dengan bantuan lembaga hukum yang tidak disebutkan namanya. Namun, hal tersebut tidak disetujui oleh warga karena sertifikat hak milik atas tanah itu harus diatasnamakan lembaga hukum tersebut. Ini menunjukkan adanya unsur komersiil di dalam lembaga hukum tersebut untuk memanfaatkan kondisi pelik ini.

Melihat situasi seperti ini, pemerintah harus turut serta menyelesaikan permasalahan ini karena menyangkut hak asasi manusia yaitu warga negaranya. Kewajiban Negara tersebut telah tertuang dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”. Tujuan pemindahan hak milik atas tanah tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, jalan lain untuk memperoleh hak milik atas tanah tersebut melalui bantuan lembaga-lembaga hukum yang nota bene mengutamakan hak asasi manusia sehingga pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya (eksosbud) dalam bidang perumahan dapat terpenuhi dan bukan mengutamakan unsur komersiil yang dilakukan oleh salah satu lembaga hukum yang pernah memberikan tawaran bantuan hukum bagi warga New Ngelepen di atas.

Jikalau tidak dapat dilakukan, pengelola rumah dome New Ngelepen itu dapat membentuk badan hukum sendiri dengan cara mendaftarkan dan mengesahkannya di kantor notaris. Kelompok pengelola beserta beberapa warga yang mendirikan badan hukum itu akan memiliki legalitas yang kuat di hadapan hukum sehingga usaha untuk memperoleh hak milik atas tanah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan harapan dan keinginan warga New Ngelepen yang salah satunya dapat menjamin hak asasi manusia mereka dalam hal pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya (eksosbud).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar