Senin, 11 Juni 2012

Sekedar bercerita...

Nampak bodoh jika berpura-pura tegar namun dalam hati tetap saja menangis. Itu gambaran yang hingga kini belum aku temukan jawabannya.
Lihat saja, dari luar aku nampak bahagia mampu tersenyum lebar seakan-akan aku kuat menjalani masalah yang ada dalam hidupku.
Namun, aku nampak lebih bodoh lagi jika aku tak mampu mengambil hikmah dari semua perjalanan hidupku hingga detik ini...
Menarik jika menyimak yang lalu sebagai sebuah pelajaran berharga. Terutama perjalananku selama empat tahun terakhir ini ...
Senang..kumenemukan tempat yang pantas untuk aku menempa diri..mengembangkan diri..bersosialisasi dan banyak hal lainnya yang sebelumnya belum pernah kudapatkan ... cinta. Sedih..kumeninggalkan tempat itu .. dan berakhirnya cinta itu pula. Entahlah ....
Aku berpikir bahwa itu adalah ujian bagiku.

Entah itu benar atau tidak, satu hal yang dapat kuambil dari sekian banyak hal yang telah terjadi pada diriku. Aku mampu mengenal dan memahami diriku sendiri. AKU TERLALU EGOIS, bahkan terhadap keluargaku dan orang yang paling kukasihi ...
Hingga kini aku masih merasakan dampak yang pernah kuperbuat. Apakah aku merasa kesepian? mengapa aku sampai bertanya hal yang semacam itu?
dan satu hal lagi.. aku belum bisa mensyukuri atas apa yang telah kuperoleh selama ini ...
TIDAK !!! Rusak dan hancur jika aku terus-terusan seperti ini.
Sahabat..mereka yang mengisi hidupku dengan canda tawanya, apakah aku akan rela melepaskan mereka?
Kakak2ku..mereka selalu menyemangati ku di kala aku benar-benar susah, dan apakah aku akan meninggalkan mereka juga?
Bapak Ibu..mereka pula yang tak pernah lelah mengurusku,menyayangiku,mencintaiku.. Kali ini,,aku tak akan melewati kesempatan itu,bersama mereka yang selalu berada disampingku, baik senang maupun sedih.

Cukup.. cukup kejadian itu yang membuatku benar-benar jatuh dan terpuruk.. Cukup itu saja yang membuat hatiku benar-benar terluka tak karuan. Meskipun sampai sekarang luka itu masih membekas dan tak tahu kapan akan kembali ... dan berharap aku akan menemukan cinta sejati.
Selain itu, selama aku menjadi seorang pemimpin di masa itu, banyak hal yang belum aku lakukan dengan sepenuh hati, aku menyadari bahwa ... lagi-lagi aku terlalu egois,hanya mementingkan keinginanku tanpa memperdulikan orang lain,kemauan orang lain.. sempat aku berpikir kadang aku tak pantas menduduki posisi itu...
tapi,,hal picik yang aku pikirkan itu, justru membuatku jauh dari rasa syukur, dan kini aku mulai sadar.. Inilah hidup yang harus kujalani.

Kekuatan paling sempurna hanyalah milik ALLAH. Seluruhnya,seutuhnya yang ada dalam hidupku adalah kuasa-Nya.
Tak henti-hentinya aku berdoa untuk mendapatkan petunjuk-Nya.
PAsti.. Aku ingin hidup bahagia dengan hati yang ikhlas. Ikhlas .. ?? tentunya aku sedang berjuang mati-matian untuk itu..
Banyak jalanan terjal, tikungan, hambatan, rintangan, dan masih banyak lagi hal di luar sana yang mungkin tak pernah kuduga-duga.. InsyaAllah.. perjalananku masih panjang.

Terimakasih Bapak, telah menyadarkanku dengan ucapan lembut dan santunmu.
..dan satu hal yang paling kuinginkan, ketika akhir nafas hidupku, orang-orang disekitarku akan tersenyum melihatku, sama hal nya ketika aku terlahir di dunia ini.

Sejuta kata maaf mungkin tak cukup untuk menebus kesalahanku, yang hanya aku bisa lakukan adalah berdoa agar orang-orang disekitarku, orang-orang yang paling kucintai selalu bahagia ketika berada disampingku.
...dan untuk seseorang yang pernah mengisi kebahagiaan di hatiku, aku harus melakukan ini karena aku tak punya pilihan.. maafkan aku.

Iyah.. yang pasti kali ini, aku harus bisa merubahnya, setidaknya bisa sedikit lebih baik.
Aku percaya.. kebahagiaan sedang menantiku..selama aku tetap berjuang..
aku..kamu..kita dan mereka...

Salam Semangat 

Rabu, 23 Maret 2011

Analisis terhadap Landasan Yuridis Sistem Ekonomi Pancasila

 
Sistem ekonomi Indonesia sejak dahulu dikenal dengan Sistem Ekonomi Pancasila. Hal ini dianggap dan diterima sebagai implikasi dari demokrasi Pancasila. Sebutan Sistem Ekonomi Pancasila sebenarnya telah dilontarkan lebih dulu oleh Emil Salim dalam suatu artikel pada harian Kompas tanggal 30 Juni 1966.[1] Dilihat dari landasan yuridis maka sistem ekonomi di Indonesia berpijak pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilatarbelakangi oleh jiwa Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan didukung oleh Pasal 23, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34.
Selain itu, Sistem Ekonomi Pancasila ditafsirkan sebagai sistem ekonomi yang berorientasi pada sila-sila Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau berlakunya etik dan moral agama bukan materialisme), Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (tidak mengenal pemerasan, penghisapan modern), Persatuan Indonesia (kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong, tidak saling mematikan, nasionalisme), Kerakyatan Yang Dipimpim Oleh Hikmat dan Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan (demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan ekonomi rakyat, mengutamakan hajat hidup orang banyak), Keadilan Sosial (persamaan, kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran orang seorang). Oleh karena itu, keberadaan Sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan Pancasila sebagai landasan ideologi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Filosofi berfikir Pasal 33 ayat (1) dipahami sebagai memiliki kolektivisme. Substansi “usaha bersama” memiliki makna bahwa perekonomian tidak dikuasai dan dieksplorasi oleh orang-perorang akan tetapi dilakukan bersama-sama, yang memiliki arti saling bergotong-royong antara pihak satu dengan lainnya. Makna bersama-sama ataupun makna gotong-royong dalam budaya, dilakukan oleh satu pihak dengan pihak lainnya. Didalam prakteknya selama ini adanya kesalahan penafsiran dengan apa yang dimaksud dengan istilah “kekeluargaan”.
Sebagaimana yang telah dimaksud, berbagai pihak masih banyak berbeda pendapat, penafsiran masih terlalu umum sehingga kabur, tidak lengkap dan partial sifatnya. Adanya penafsiran yang ada kurang tepat, kurang jelas sehingga menimbulkan ekses membingungkan umum. Ditemukan usaha-usaha penafsiran dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dari berbagai pendapat.  Dimulai dari pendapat Bung Hatta, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Asas kekeluargaan adalah koperasi. Koperasi bukanlah sektor perekonomian, tetapi adalah perihidup sosial, yang menyangkut nilai-nilai, jiwa atau semangat yang berdasarkan rasa persaudaraan, kekeluargaan, kebersamaan, gotong-royong dan seterusnya, yaitu jiwa, semangat atau perikehidup koperasi.
Menurut penafsiran Wilopo[2], istilah “usaha bersama” mengungkapkan buah pikiran tentang suatu bentuk usaha yang amat berbeda sifatnya dari usaha swasta; dalam usaha swasta itu semua keputusan di tangan pengusaha/majikan yang kemudian dapat berupa penekanan pada buruh. Lebih lanjut, istilah “berdasarkan atas asas kekeluargaan” menyatakan adanya landasan bagi tanggung jawab bersama, yang ditujukan untuk menjamin kemajuan setiap peserta. Sedangkan, menurut Widjojo Nitisastro, unit atau unit-unit yang harus mengandung ciri-ciri khas hubungan kekeluargaan dan dalam mana proses ekonomi akan terjadi adalah masyarakat secara keseluruhan.  
Telah dijelaskan pula dalam Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen, yakni “ ... Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.” Pandangan Potan Arif Harahap[3] terhadap klasula tersebut menegaskan pada Penjelasan Pasal 33 yang berbunyi bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Beliau menafsirkan kata “bangun” dalam arti struktur yakni hakekat batiniah, yang dibedakan dengan arti bentuk, form atau vorm. Dengan demikian bangun dapat juga ditafsirkan sebagai jiwa, semangat. Jadi bangun koperasi sebenarnya dapat juga ditafsirkan sebagai jiwa semangat koperasi.
Kiranya penafsiran ini lebih relevan karena sesuai dengan apa yang menjadi landasan filosofis dari terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945 pada waktu itu. Hal ini dijelaskan pula bahwa penafsiran ini yang dipakai berupa bangun dalam arti struktur, jiwa atau semangat memberikan pengertian bahwa dalam sistem ekonomi Pancasila hanya perusahaan dengan bangun koperasi yang sesuai, karena dengan bangun koperasi bukanlah dimaksud bahwa perusahaan-perusahaan semata-mata harus mempunyai bentuk koperasi yang ada sekarang, tetapi boleh dengan bentuk lain, asal dikelola dengan jiwa dan semangat koperasi.
Hal ini diperkuat dalam Penjelasan resmi dari UUD 1945 pada waktu itu, bahwa “Yang penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara, ialah semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi, jika semangat para penyelenggara pemerintah baik, Undang-Undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi, yang paling penting ialah semangat.” 
Menurut Sri Edi Swasono, bahwa asas kekeluargaan dapat pula dijelmakan di dalam bangun usaha non-koperasi. Suatu bentuk perusahaan seperti PT dapat menerapkan koperasi, yakni dalam aspek hubungan informal di alam organisasi formal, hubungan antara buruh dengan karyawan dan majikan bukan hubungan antar faktor-faktor produksi. Buruh dan karyawan bukan faktor produksi, tetapi adalah partner berproduksi.
Dalam hal perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, dapat pula dicari penafsirannya. Perkataan “disusun” mengisyaratkan bahwa perekonomian secara keseluruhan harus secara sadar diatur, tidak dibiarkan tumbuh tersusun sendiri. Peraturan perundangan dalam hal perizinan harus berperan secara aktif untuk menyusun perekonomian nasional, menetapkan dan membentuk sistem dan orde ekonomi yang kita kehendaki itu. Maka apabila ada suatu perusahaan yang tidak melaksanakan kebersamaan dan kekeluargaan itu hendaknya dianggap tidak berhak menjadi bagian dari perekonomian nasional dan ini dapat dianggap disfungsional terhadap sistem ekonomi Pancasila.
Dengan adanya koperasi sebagai suatu prinsip ekonomi di Indonesia, maka perlu adanya tindak lanjut terhadap pembangunan koperasi itu sendiri. Upaya dalam pembangunan koperasi perlu dilanjutkan dan harus makin diarahkan untuk mewujudkan koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang sehat, tangguh, kuat dan mandiri serta sebagai soko guru perekonomian nasional yang merupakan wadah untuk menggalang kemampuan ekonomi rakyat di semua kegiatan perekonomian nasional, sehingga mampu berperan utama dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan itu, perlu ditingkatkan dengan sungguh-sungguh penataan koperasi, usaha negara, dan usaha swasta agar masing-masing melaksanakan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional yang didasarkan pada demokrasi ekonomi berlandaskan Pancasila. Pembangunan ekonomi secara bertahap harus ditata dalam peraturan perundang-undangan.
Seperti yang dikemukakan oleh Potan Arif Harahap bahwa koperasi digunakan dalam dua pengertian, yakni sebagai falsafah yang menjadi landasan dari suatu sistem ekonomi dengan asas kekeluargaan dan semangat gotong- royong dan sebagai suatu badan usaha seperti koperasi sekarang ini, setelah diubah beberapa ketentuan yang berlaku terhadapnya. Jadi badan usaha koperasi adalah salah satu bentuk dari bangun koperasi. Perusahaan-perusahaan negara, PT, Firma dan CV yang dikelola dengan jiwa dan semangat koperasi adalah bentuk-bentuk lain dari bangun koperasi.
Mencermati landasan yuridis sistem perekonomian di Indonesia yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dari berbagai para ahli ekonom maupun yuris Indonesia mendefinisikan sistem ekonomi nasional sebagai sistem ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem yang mengandung nilai-nilai strategis budaya bangsa yaitu kekeluargaan dan kemandirian sebagai ciri strategis budaya bangsa. Oleh karena itu, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)   Sistem ekonomi Pancasila bertujuan sebesr-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
2)   Keikutsertaan rakyat banyak dalam kepemilikan, proses produksi dan menikmati hasilnya;
3)   Menggunakan mekanisme pasar yang berkeadilan;
4)   Perencanaan strategis ekonomi nasional. Artinya, negara secara sadar menyusun perekonomian secara nasional untuk menghasilkan blue print ekonomi yang akan menjadi petunjuk dan arah pola kebijakan bagi penyelenggaraan serta alat ukur sekaligus jaminan bagi keikutsertaan seluruh rakyat dalam proses produksi bagi tercapainya kesejahteraan rakyat;
5)   Koperasi berperan utama di sektor ekonomi rakyat. Koperasi menjadi satu-satunya solusi kelembagaan bagi usaha-usaha kecil yang berjumlah besar tetapi terbatas assetnya terutama di sektor pertanian;
6)   BUMN berperan utama dlam kegiatan-kegiatan ekonomi yang strategis dan atau menguasai hajat hidup orang banyak;
7)   Kemitraan yang setara antara koperasi-BUMN-swasta. Kerjasama yang setara akan memberikan sinergi sehingga mampu menghasilkan capaian memuaskan. Agar pokok-pokok kemitraan berisi kesepakatan untuk bersaing secara sehat, keterkaitan usaha dan kepemilikan saham; dan
8)   Perencanaan pemerintah. Pertama, melalui penegakan peraturan perundang-undangan. Kedua, melalui pelayanan masyarakat. Ketiga pembentukan dan penguatan BUMN.
Dengan demikian berdasarkan tujuan dan keinginan luhur dari founding fathers negara Indonesia dan penafsiran serta pengertian yang dikemukakan oleh para pendapat ahli, Indonesia menyebutkan sistem perekonomian nasional adalah sistem ekonomi Pancasila sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa landasan sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 33. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan, dimana sistem ekonomi dibangun dengan koperasi, bukan dalam artian “bentuk” usaha seluruhnya adalah koperasi, namun segala usaha dapat sesuai dengan prinsip dasar koperasi apabila secara substansi dari badan usaha lain menerapkan semangat dan jiwa bangun koperasi.
Dikutip dari pendapat Sarwo Edi Saswono bahwa, di dalam sistem ekonomi Pancasila, keadilan bukan saja merupakan tujuan yang harus dikejar, tetapi sekaligus merupakan titik tolak setiap tindakan atau upaya dan proses melaksanakan titik tolak dalam mencapai tujuan. Menurut hemat saya, sistem perekonomian di Indonesia yang diwujudkan melalui pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa, baik dari segi keadilan maupun kesejahteraan ataupun yang lainnya, menjadi dasar atau berpijaknya pembangunan dan pelaksanaan sistem ekonomi Pancasila secara murni atau pure.







[1] Mudrajad Kuncoro. Sistem Ekonomi Pancasila : Antara Mitos dan Realita disempurnakan dari makalah yang disajikan dalam acara Bedah Buku, yang diselenggarakan oleh Kopma UGM, di University Centre UGM, Yogyakarta, 13 Nopember 2000.   
[2] Dalam Sri Edi Swasono. Bahasan : Landasan dan Penafsiran Yuridis Sistem Ekonomi Pancasila pada Seminar Sehari tentang Landasan Yuridis Sistem Ekonomi Pancasila yang diadakan oleh FHUI dalam rangka memperingati Dies Natalis UI ke-36.
[3] Potan Arif Harahap. Landasan Yuridis Sistem Ekonomi Pancasila. pada Seminar Sehari tentang Landasan Yuridis Sistem Ekonomi Pancasila yang diadakan oleh FHUI dalam rangka memperingati Dies Natalis UI ke-36. Hal. 103.

Sabtu, 18 Desember 2010

Percobaan, Penyertaan dan Perbarengan Tindak Pidana

A.      Percobaan Melakukan Tindak Pidana
Pada umumnya orang melakukan suatu tindak pidana itu hanya dapat dihukum, jikalau tindak pidana itu telah seluruhnya diselesaikan, artinya semua unsur-unsur dari tindak pidana itu telah terwujud. Timbul pertanyaan, jika orang itu telah mulai melakukan tindak pidana, akan tetapi tidak samapai selesai? Dalam hal ini kita berhadapan dengan soal percobaan (poging).
Kata “percobaan” atau poging  berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.[1] Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.
Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji.[2] Dari apa yang diterangkan di atas, kiranya ada dua arti percobaan.
Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya ialah perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak (alam batin) semata, misalnya hendak menebang pohon, namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai pohon tumbang. Misalnya, baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau kepergok si pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan terhentilah perbuatan menebang pohon. Wujud mengayunkan kampak tiga atau empat kali adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon.
Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu dalam keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau percobaan obat tertentu pada kera dan sebagainya.
Didalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging) tetapi dirumuskan syarat-syaratnya. Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1)      Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2)      Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3)      Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan).[3]
Pasal 53 KUHP hanya menentukan kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut[4]:
a.    Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud atau suatu voornemen untuk melakukan suatu kejahatan tertentu;
b.    Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki;
c.    Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri.

Oleh karena itu, agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, sebagaimana dalam Pasal 54 KUHP yang menyatakan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak pidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang (drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana. Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5) KUHP), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3) KUHP), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5) KUHP).
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Loebby Loqman[5] memberikan contoh sebagai berikut:
a.       Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat.
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan tersebut.
Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya”.
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula.
Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.

b.      Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan.
Sebagai contoh:
Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang pengadilan.
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar.
Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang.

c.       Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang dikwalifikasi).
Sebagai contoh :
Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.

Menurut Barda Nawawi Arief[6] tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a.       Adanya penghalang fisik.
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b.      Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c.       Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.

Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan antara :
a.       Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan
b.      Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.

B.       Penyertaan Melakukan Tindak Pidana
Suatu tindak pidana tidak selalu dilakukan oleh seorang pembuat, tapi kadang-kadang dapat juga oleh beberapa orang. Jika beberapa orang tersangkut di dalam terwujudnya suatu tindakan, maka disitu dapat kita lihat adanya kerjasama. Juga di dalam mewujudkan suatu tindak pidana kadang-kadang perlu ada pembagian pekerjaan diantara orang itu.
Kata “deelneming”, berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.[7] Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana orang berkesimpulan, bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana. Dalam praktik ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Disamping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.
Menurut doktrin, deelneming berdasarkan sifatnya terdiri atas:
a.       deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggung jawaban dari setiap
peserta dihargai sendiri-sendiri; dan
b.      deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan dari perbuatan peserta yang lain.
KUHP tidak menganut pembagian deelneming menurut sifatnya,dalam KUHP deelneming atau penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUH. Selain penyertaan atau deelneming pembantuan juga di kenakan pidana yang diatur dalam Pasal 56,57, dan 60 KUHP.
Perlu diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pada barang barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Wadah tidak pidana ialah undang-undang, baik berbentuk kodifikasi yakni KUHP dan diluar kodifikasi yang tersear luas dalam berbagai peraturan perundang-undangan.[8]
Subjek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Perhatikan rumusan Pasal 338 KUHP yang menyatakan”barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.
Jelas yang dimaksud dengan barang siapa adalah satu orang,bukan banyak orang atau beberapa orang. Apabila berdasarkan rumusan Pasal 338 KUHP. Pada kasus si A membunuh si B dimana si C memegangi tangan si B maka si C tidak dapat dikenakan hukuman pidana, hanya si A-lah yang dikenakan pidana, hal ini apabila berdasarkan Pasal 338 KUHP. Sementara si C ikut andil dalam melakukan pembunuhan terhadap si B, maka hal itu terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP diatur tentang penyertaan.

Menurut Adami Chazawi[9] persoalan pokok dalam ajaran penyertaan, ialah :
a.       mengenai diri orangnya, ialah orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan yang bersikap batin bagaimana yang dapat
dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkut paut
dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerjasama lebih dari satu
orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan di pidana;
b.      mengenai tanggung jawab pidana yang dibebannya masing-masing ialah
persoalan mengenai apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan
dipertanggung jawabkan yang sama ataukah akan dipertanggung jawabkan secara bebeda sesuai dengan kuat tidaknya keterlibatan atau andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana.

Adapun dapatnya perbuatan seseorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam mewujudkan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:
1.      Dari sudut subjektif; ada dua syaratnya, yaitu :
a.       adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang
hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana;
b.      adanya hubungan batin (kesengajaan,seperti mengetahui) antara
dirinya dengan peserta lainnya,dan bahkan dengan apa yang di perbuat peserta lainnya.
2.      Dari sudut objektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu secara objektif ada perannya atau pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana.

Sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana pada penyertaan, ialah :
1.      Yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya;
2.      Masing-masing orang yang bersama-sama terlibat ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia di terapkan sistem yang pertama.


Bentuk-bentuk Penyertaan :
Pada dasarnya KUHP Indonesia ada dua bentuk penyertaan, ialah yang disebut :
1.    Pembuat (dader) dalam Pasal 55 KUHP;
2.    Pembantu dalam Pasal 56 KUHP.

Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berikut :
(1)     Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1.    mereka yang melakukan,yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2.    mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan,ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan,sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2)     Terhadap penganjur,hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.        mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan:
2.        mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP maka terdapat lima peranan pelaku yaitu:
1.        Orang yang melakukan (dader)
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang- undang, baik unsur subjektif maupun objektif. Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik yakni delik formil dan delik materil.
2.        Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
Seseorang berkehendak melakukan suatu delik tapi tidak melakukannya sendiri melainkan menyuruh orang lain yang tidak dapat di pertanggung jawabkan karena berdasarkan Pasal 44 KUHP.
3.        Orang yang turut melakuakan (mededader)
Syarat mededader ada 2, yaitu :
a.    harus ada kerja sama secara fisik; dan
b.    harus ada kesadaran kerja sama.
4.        Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)
Hal ini diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Sub 2 (ke 2) KUHP yang berbunyi,
Mereka yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau derajat (martabat) dengan paksaan, ancaman, atau tipu, atau dengan memberikan kesempatan,ikhtiaratsau keterangan dengan sengaja membujuk membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain disebut actor intelectualis atau intelektual dader atau provocateur atau uitlokker.
5.        Orang yang membantu melakukan (medeplichtige)
Mengenai pembantuan diatur dalam tiga pasal ialah Pasal 56, 57 dan 60 KUHP. Pasal 56 KUHP merumuskan tentang unsur subjektif dan unsur objektif, Pasal 57 KUHP memuat tentang batas luasnya pertanggung jawaban bagi pembuat pembantu, sedangkan Pasal 60 KUHP mengenai penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada pembantuan
dalam hal kejahatan tidak dalam hal pelanggaran.
Menurut Pasal 56 KUHP, bentuk pembantuan atau pembuat pembantu dibedakan antara lain :
a.    Pemberi bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan; dan
b.    Pemberi bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.
Dalam Pasal 57 KUHP memuat tentang sejauh mana luasnya tanggung jawab bagi pembuat pembantu, yang rumusannya sebagai berikut :
a.    Dalam hal pembantuan, maksimum diancam dengan pidana pokok terhadap  kejahatan dikurangi sepertiga;
b.    Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur  hidup, dijatuhkan pidana paling lama 15 tahun;
c.    Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri; dan
d.   Dalam menentukan pidana bagi pembantu yang diperhitungkan hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah atau di perlancar olehnya beserta
akibatnya.

C.      Perbarengan Perbuatan Pidana
Jika dalam ajaran penyertaan dijumpai adanya lebih dari satu orang yang tersangkut dalam melakukan perbuatan pidana, dalam ajaran mengenai concursus yang akan dibicarakan, dijumpai persoalan adanya beberapa tindak pidana yang dilakukan satu orang (tatermenhreit).
Menurut Lamintang[10], gabungan tindak pidana itu disebut samenloop van strafbare feiten, oleh pembentuk undang-undang telah diatur didalam Bab ke-Ivdari Buku ke-I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau tegasnya di dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu perilaku yang terlarang, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama. Dalam samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah tertuduh itu hanya melakukan satu perilaku yang terlarang, atau ia telah melakukan lebih daripada satu perilaku yang terlarang.
Perbedaan concursus dengan recidive ialah bahwa dalam concursus itu antara tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat tidak ada putusan hakim, sedang pada recidive ada.[11]
Concursus ini diatur dalam titel IV KUHP, berturut mendapat pengaturan didalam  titel tersebut.
1.      Concursus Idealis
Seorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana, yang dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “gabungan berupa satu perbuatan”.
2.      Concursus Realis
Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan satu sama lain, dan yang masing-masing merupakan tindak pidana; hal tersebut dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “gabungan beberapa perbuatan”.
3.      Perbuatan berlanjut
Seorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana, tetapi dengan adanya hubungan antara satu sama yang lain, dianggap sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan.

Gabungan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan kepentingan hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan satu tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat dipidananya pelaku tindak pidana gabungan adalah berdasarkan rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang secara sistimatis dapat diuraikan sebagai berikut:

1.    Dasar hukum gabungan dalam satu perbuatan (concursus idealis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini adalah diatur dalam Pasal 63 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Dalam Pasal 63 KUHP merumuskan sebagai berikut :
(1)    Jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya;
(2)    Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.
Sepintas lalu aturan itu mudah, ialah apabila seseorang melakukan perbuatan yang masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya satu aturan, namun tidaklah demikian halnya: bahkan ada yang memandang “gelandang mimang” (geestelijk doolhof) para jurist.

2.    Dasar hukum gabungan beberapa perbuatan pidana (concursus realis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam beberapa tindak pidana diatur dalam Pasal 65 KUHP yang bunyi rumusannya sebagai berikut:
(1)      Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang diancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan;
(2)      Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya.
Ada concursus realis apabila orang melakukan beberapa perbuatan yang dapat dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan masing-masing merupakan tindak pidana yang berupa kejahatan dan atau pelanggaran. Jadi ada :
a.    Seorang pembuat;
b.    Serentetan tindak pidana yang dilakukan olehnya;
c.    Tindak pidana itu perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain; dan
d.   Diantara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.

3.        Dasar hukum perbuatan berlanjut (voortgezette handeling)
Adapun dasar hukum tentang pembarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64 KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :
(1)      Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya;
(2)      Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalahkan memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu atau merusakkan uang.
Mengenai perbuatan ini, ada dua pendapat yakni :
a.    Perbuatan berlanjut dipandang sebagai satu delik kesatuan (delik yang bulat). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu dapat dikatakan sebagai bagian-bagian dari satu delik. Pendirian ini mempunyai konsekuensi mengenai tempat, waktu serta tenggang waktu (dalu warsa) dari delik itu.
b.    Perbuatan berlanjut dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri seperti pada concursus realis dan diantara perbuatan-perbuatan itu ada hubungannya. Masing-masing mempunyai tempat dan tenggang waktu (dalu warsa) sendiri-sendiri.
Menurut Hezewinkwl Suringa[12] mengatakan kurang lebih, “apabila untuk concursus realis, pengenaan pidana yang lunak tidak beralasan, maka aturan tentang perbuatan berlanjut itu tidak ada manfaatnya, penghapusan aturan ini tidak akan merugikan”.


[1]. Ibid. Hlm. 97.
[2] Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Hlm. 1.
[3] Lamintang dikutip oleh Muhammad Ekaputra. Percobaan (Poging). 2002 digitized by USU digital library dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1491/1/pidana-ekaputra.pdf diakses pada tanggal 5 Oktober 2010 pukul 22:15 WIB.
[4]Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 536.
[5] Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana. Universitas Tarumanagara : Jakarta.
[6] Arief, Barda Nawawi.1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas Diponegoro : Semarang. Hlm. 15.
[7] Wirjono Projodikoro. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika. Hlm. 108.
[8] Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hlm. 67.
[9] Ibid. Hlm 72.
[10] Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 673.
[11] Winarno Budyatmojo. 2009. Hukum Pidana Kodifikasi. Surakarta : UNS Press. Hlm. 55.
[12] Ibid. Hlm. 64.