A. Percobaan Melakukan Tindak Pidana
Pada umumnya orang melakukan suatu tindak pidana itu hanya dapat dihukum, jikalau tindak pidana itu telah seluruhnya diselesaikan, artinya semua unsur-unsur dari tindak pidana itu telah terwujud. Timbul pertanyaan, jika orang itu telah mulai melakukan tindak pidana, akan tetapi tidak samapai selesai? Dalam hal ini kita berhadapan dengan soal percobaan (poging).
Kata “percobaan” atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.[1] Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.
Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji.[2] Dari apa yang diterangkan di atas, kiranya ada dua arti percobaan.
Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya ialah perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak (alam batin) semata, misalnya hendak menebang pohon, namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai pohon tumbang. Misalnya, baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau kepergok si pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan terhentilah perbuatan menebang pohon. Wujud mengayunkan kampak tiga atau empat kali adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon.
Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu dalam keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau percobaan obat tertentu pada kera dan sebagainya.
Didalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging) tetapi dirumuskan syarat-syaratnya. Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan:
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan).[3]
Pasal 53 KUHP hanya menentukan kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut[4]:
a. Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud atau suatu voornemen untuk melakukan suatu kejahatan tertentu;
b. Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki;
c. Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri.
Oleh karena itu, agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, sebagaimana dalam Pasal 54 KUHP yang menyatakan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak pidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang (drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana. Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5) KUHP), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3) KUHP), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5) KUHP).
Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.
Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.
Loebby Loqman[5] memberikan contoh sebagai berikut:
a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat.
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan tersebut.
Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya”.
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula.
Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada faktor yang datang dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.
b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan.
Sebagai contoh:
Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang pengadilan.
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar.
Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang.
c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini disebut dengan guequalificeerde poging (percobaan yang dikwalifikasi).
Sebagai contoh :
Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.
Menurut Barda Nawawi Arief[6] tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya penghalang fisik.
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang jamnya rusak.
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya penghalang fisik.
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran.
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat dibedakan antara :
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan; dan
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang memberi racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
B. Penyertaan Melakukan Tindak Pidana
Suatu tindak pidana tidak selalu dilakukan oleh seorang pembuat, tapi kadang-kadang dapat juga oleh beberapa orang. Jika beberapa orang tersangkut di dalam terwujudnya suatu tindakan, maka disitu dapat kita lihat adanya kerjasama. Juga di dalam mewujudkan suatu tindak pidana kadang-kadang perlu ada pembagian pekerjaan diantara orang itu.
Kata “deelneming”, berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.[7] Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana orang berkesimpulan, bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana. Dalam praktik ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Disamping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.
Menurut doktrin, deelneming berdasarkan sifatnya terdiri atas:
a. deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggung jawaban dari setiap
peserta dihargai sendiri-sendiri; dan
b. deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan dari perbuatan peserta yang lain.
KUHP tidak menganut pembagian deelneming menurut sifatnya,dalam KUHP deelneming atau penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUH. Selain penyertaan atau deelneming pembantuan juga di kenakan pidana yang diatur dalam Pasal 56,57, dan 60 KUHP.
Perlu diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pada barang barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Wadah tidak pidana ialah undang-undang, baik berbentuk kodifikasi yakni KUHP dan diluar kodifikasi yang tersear luas dalam berbagai peraturan perundang-undangan.[8]
Subjek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Perhatikan rumusan Pasal 338 KUHP yang menyatakan”barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.
Jelas yang dimaksud dengan barang siapa adalah satu orang,bukan banyak orang atau beberapa orang. Apabila berdasarkan rumusan Pasal 338 KUHP. Pada kasus si A membunuh si B dimana si C memegangi tangan si B maka si C tidak dapat dikenakan hukuman pidana, hanya si A-lah yang dikenakan pidana, hal ini apabila berdasarkan Pasal 338 KUHP. Sementara si C ikut andil dalam melakukan pembunuhan terhadap si B, maka hal itu terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP diatur tentang penyertaan.
Menurut Adami Chazawi[9] persoalan pokok dalam ajaran penyertaan, ialah :
a. mengenai diri orangnya, ialah orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan yang bersikap batin bagaimana yang dapat
dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkut paut
dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerjasama lebih dari satu
orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan di pidana;
dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkut paut
dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerjasama lebih dari satu
orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan di pidana;
b. mengenai tanggung jawab pidana yang dibebannya masing-masing ialah
persoalan mengenai apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan
dipertanggung jawabkan yang sama ataukah akan dipertanggung jawabkan secara bebeda sesuai dengan kuat tidaknya keterlibatan atau andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana.
persoalan mengenai apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan
dipertanggung jawabkan yang sama ataukah akan dipertanggung jawabkan secara bebeda sesuai dengan kuat tidaknya keterlibatan atau andil dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana.
Adapun dapatnya perbuatan seseorang dianggap terlibat bersama peserta lainnya dalam mewujudkan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:
1. Dari sudut subjektif; ada dua syaratnya, yaitu :
a. adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang
hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana;
hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana;
b. adanya hubungan batin (kesengajaan,seperti mengetahui) antara
dirinya dengan peserta lainnya,dan bahkan dengan apa yang di perbuat peserta lainnya.
dirinya dengan peserta lainnya,dan bahkan dengan apa yang di perbuat peserta lainnya.
2. Dari sudut objektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu secara objektif ada perannya atau pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana.
Sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana pada penyertaan, ialah :
1. Yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya;
2. Masing-masing orang yang bersama-sama terlibat ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia di terapkan sistem yang pertama.
Bentuk-bentuk Penyertaan :
Pada dasarnya KUHP Indonesia ada dua bentuk penyertaan, ialah yang disebut :
1. Pembuat (dader) dalam Pasal 55 KUHP;
2. Pembantu dalam Pasal 56 KUHP.
Pasal 55 KUHP merumuskan sebagai berikut :
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan,yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan,ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan,sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan,ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan,sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur,hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan:
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP maka terdapat lima peranan pelaku yaitu:
1. Orang yang melakukan (dader)
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang- undang, baik unsur subjektif maupun objektif. Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis delik yakni delik formil dan delik materil.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
Seseorang berkehendak melakukan suatu delik tapi tidak melakukannya sendiri melainkan menyuruh orang lain yang tidak dapat di pertanggung jawabkan karena berdasarkan Pasal 44 KUHP.
3. Orang yang turut melakuakan (mededader)
Syarat mededader ada 2, yaitu :
a. harus ada kerja sama secara fisik; dan
b. harus ada kesadaran kerja sama.
4. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker)
Hal ini diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Sub 2 (ke 2) KUHP yang berbunyi,
Mereka yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau derajat (martabat) dengan paksaan, ancaman, atau tipu, atau dengan memberikan kesempatan,ikhtiaratsau keterangan dengan sengaja membujuk membujuk supaya perbuatan itu dilakukan.
Menurut doktrin, orang yang menggerakkan orang lain disebut actor intelectualis atau intelektual dader atau provocateur atau uitlokker.
5. Orang yang membantu melakukan (medeplichtige)
Mengenai pembantuan diatur dalam tiga pasal ialah Pasal 56, 57 dan 60 KUHP. Pasal 56 KUHP merumuskan tentang unsur subjektif dan unsur objektif, Pasal 57 KUHP memuat tentang batas luasnya pertanggung jawaban bagi pembuat pembantu, sedangkan Pasal 60 KUHP mengenai penegasan pertanggungjawaban pembantuan itu hanyalah pada pembantuan
dalam hal kejahatan tidak dalam hal pelanggaran.
dalam hal kejahatan tidak dalam hal pelanggaran.
Menurut Pasal 56 KUHP, bentuk pembantuan atau pembuat pembantu dibedakan antara lain :
a. Pemberi bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan; dan
b. Pemberi bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.
Dalam Pasal 57 KUHP memuat tentang sejauh mana luasnya tanggung jawab bagi pembuat pembantu, yang rumusannya sebagai berikut :
a. Dalam hal pembantuan, maksimum diancam dengan pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga;
b. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana paling lama 15 tahun;
c. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri; dan
d. Dalam menentukan pidana bagi pembantu yang diperhitungkan hanya
perbuatan yang sengaja dipermudah atau di perlancar olehnya beserta
akibatnya.
perbuatan yang sengaja dipermudah atau di perlancar olehnya beserta
akibatnya.
C. Perbarengan Perbuatan Pidana
Jika dalam ajaran penyertaan dijumpai adanya lebih dari satu orang yang tersangkut dalam melakukan perbuatan pidana, dalam ajaran mengenai concursus yang akan dibicarakan, dijumpai persoalan adanya beberapa tindak pidana yang dilakukan satu orang (tatermenhreit).
Menurut Lamintang[10], gabungan tindak pidana itu disebut samenloop van strafbare feiten, oleh pembentuk undang-undang telah diatur didalam Bab ke-Ivdari Buku ke-I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau tegasnya di dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu perilaku yang terlarang, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama. Dalam samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah tertuduh itu hanya melakukan satu perilaku yang terlarang, atau ia telah melakukan lebih daripada satu perilaku yang terlarang.
Perbedaan concursus dengan recidive ialah bahwa dalam concursus itu antara tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat tidak ada putusan hakim, sedang pada recidive ada.[11]
Concursus ini diatur dalam titel IV KUHP, berturut mendapat pengaturan didalam titel tersebut.
1. Concursus Idealis
Seorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana, yang dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “gabungan berupa satu perbuatan”.
2. Concursus Realis
Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan satu sama lain, dan yang masing-masing merupakan tindak pidana; hal tersebut dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “gabungan beberapa perbuatan”.
3. Perbuatan berlanjut
Seorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana, tetapi dengan adanya hubungan antara satu sama yang lain, dianggap sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan.
Gabungan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan kepentingan hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan satu tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat dipidananya pelaku tindak pidana gabungan adalah berdasarkan rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang secara sistimatis dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dasar hukum gabungan dalam satu perbuatan (concursus idealis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini adalah diatur dalam Pasal 63 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Dalam Pasal 63 KUHP merumuskan sebagai berikut :
(1) Jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya;
(2) Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.
Sepintas lalu aturan itu mudah, ialah apabila seseorang melakukan perbuatan yang masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya satu aturan, namun tidaklah demikian halnya: bahkan ada yang memandang “gelandang mimang” (geestelijk doolhof) para jurist.
2. Dasar hukum gabungan beberapa perbuatan pidana (concursus realis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam beberapa tindak pidana diatur dalam Pasal 65 KUHP yang bunyi rumusannya sebagai berikut:
(1) Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang diancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan;
(2) Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya.
Ada concursus realis apabila orang melakukan beberapa perbuatan yang dapat dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan masing-masing merupakan tindak pidana yang berupa kejahatan dan atau pelanggaran. Jadi ada :
a. Seorang pembuat;
b. Serentetan tindak pidana yang dilakukan olehnya;
c. Tindak pidana itu perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain; dan
d. Diantara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.
3. Dasar hukum perbuatan berlanjut (voortgezette handeling)
Adapun dasar hukum tentang pembarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64 KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :
(1) Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya;
(2) Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalahkan memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu atau merusakkan uang.
Mengenai perbuatan ini, ada dua pendapat yakni :
a. Perbuatan berlanjut dipandang sebagai satu delik kesatuan (delik yang bulat). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu dapat dikatakan sebagai bagian-bagian dari satu delik. Pendirian ini mempunyai konsekuensi mengenai tempat, waktu serta tenggang waktu (dalu warsa) dari delik itu.
b. Perbuatan berlanjut dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri seperti pada concursus realis dan diantara perbuatan-perbuatan itu ada hubungannya. Masing-masing mempunyai tempat dan tenggang waktu (dalu warsa) sendiri-sendiri.
Menurut Hezewinkwl Suringa[12] mengatakan kurang lebih, “apabila untuk concursus realis, pengenaan pidana yang lunak tidak beralasan, maka aturan tentang perbuatan berlanjut itu tidak ada manfaatnya, penghapusan aturan ini tidak akan merugikan”.
[1]. Ibid. Hlm. 97.
[2] Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Hlm. 1.
[3] Lamintang dikutip oleh Muhammad Ekaputra. Percobaan (Poging). 2002 digitized by USU digital library dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1491/1/pidana-ekaputra.pdf diakses pada tanggal 5 Oktober 2010 pukul 22:15 WIB.
[4]Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 536.
[5] Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana. Universitas Tarumanagara : Jakarta.
[6] Arief, Barda Nawawi.1984. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas Diponegoro : Semarang. Hlm. 15.
[7] Wirjono Projodikoro. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika. Hlm. 108.
[8] Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Hlm. 67.
[10] Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hlm. 673.
[11] Winarno Budyatmojo. 2009. Hukum Pidana Kodifikasi. Surakarta : UNS Press. Hlm. 55.
[12] Ibid. Hlm. 64.