Kamis, 11 November 2010

LKTM Bidang Hukum BEM UNS 2010


OTOKRITIK PENDIDIKAN HUKUM KONVENSIONAL DALAM OPTIMALISASI PERAN MAHASISWA BERBASIS PENGALAMAN (SEBUAH TAWARAN MODEL PENDIDIKAN PROGRESIF DALAM PEMBELAJARAN ILMU HUKUM)

Disusun Oleh :
Nur Sulistyaningsih
Trisna Delniasari


A.      Latar Belakang Masalah
Mencermati beberapa kasus hukum yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia mencerminkan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini telah menodai rasa keadilan di dalam masyarakat. Betapa tidak, berbagai mitos yang beberapa dekade tertutup rapat bahkan disangkal keberadaannya, pelahan namun pasti mulai menyeruak ke ranah publik. Bercokolnya mafia hukum, bergentayangannya makelar kasus, mengguritanya persekongkolan elit penegak hukum dalam kriminalisasi perkara, hingga keberadaan fasilitas mewah yang dapat dipesan narapidana kelas kakap, merupakan fenomena ‘gunung es’ suramnya realitas penegakan hukum yang dipraktikkan para aparat yang tidak lain adalah alumnus lembaga pendidikan tinggi hukum di republik ini.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo bahwa dewasa ini hukum di Indonesia seakan telah mencapai titik nadir dan hanya dapat diperbaiki oleh hukum sendiri.[1] Pandangan tersebut memang tidak dapat dielakkan lagi ketika dihadapkan dengan realita yang terjadi. Perlu menjadi renungan bahwa kondisi ini dapat diakibatkan dunia kerja dari penegak hukum yang merupakan pekerjaan yang mulia atau officium nobile dan faktor pendidikan pada saat di perguruan tinggi. Sebenarnya faktor dominan yang mempengaruhi kinerja dari para penegak hukum berasal dari lingkungan kerja. Namun, tetap saja lahirnya seorang menjadi penegak hukum bermula dari pendidikan yang diperolehnya di bangku perkuliahan. Bahkan, Harikristuti Harikrisnowo menyatakan salah satu lembaga yang dituding menjadi culprit adalah lembaga pendidikan tinggi hukum, karena memproduksi lulusan yang kemudian berkiprah di dunia hukum, baik sebagai hakim, jaksa maupun advokat.[2] Artinya pendidikan tinggi hukum tidak dapat mengelak dari tudingan perannya dalam menciptakan aparat penegak hukum. Jika sudah demikian maka apa yang bisa dilakukan pada pendidikan tinggi hukum tersebut ?
Dalam penelitian ini, peneliti menawarkan gagasan berupa pendidikan progresif dalam pembelajaran ilmu hukum yang mendasarkan pada pengalaman mahasiswa. Pelajaran bagi pendidikan progresif adalah bahwa pendidikan itu secara agak mendesak menuntut adanya suatu filsafat pendidikan yang didasarkan pada pengalaman. Pendidikan progresif tersebut dimaksudkan untuk memberikan arah baru bagi pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yaitu berupa optimalisasi peran mahasiswa dengan menerapkan teknik pembelajaran SCO (Student Center Oriented).
Maka hal ini penting untuk dikaji karena pendidikan hukum perlu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum untuk menciptakan lulusan fakultas hukum yang tidak sekedar hafal peraturan perundangan-undangan tetapi juga dalam menjalankan hukum yang orientasinya kepada nilai kemanusiaan dan keadilan. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik mengkaji lebih mendalam  persoalan tersebut dalam karya tulis yang berjudul “Otokritik Pendidikan Hukum Konvensional dalam Optimalisasi Peran Mahasiswa Berbasis Pengalaman (Sebuah Tawaran Model Pendidikan Progresif dalam Pembelajaran Ilmu Hukum)”.

B.  Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin–doktrin hukum yang guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan preskriptif ilmu hukum.[3] Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dalam penelitian ini digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen (library research) yaitu mengumpulkan data sekunder melalui identifikasi buku referensi dan media massa seperti koran, internet serta bahan lain  yang masih ada hubungannya dengan penelitian ini. Oleh karena penulisan ini menggunakan dua pendekatan, terdapat dua teknik analisis. Pertama, pendekatan historis maka teknik analisis bahan hukum yang digunakan yaitu dengan pelacakan lembaga hukum dari waktu ke waktu sehingga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi suatu aturan hukum. Kedua, dengan pendekatan konseptual maka teknik analisis yang digunakan yaitu dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum sehingga penulis akan menemukan ide-ide yang akan melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

C.  Pembahasan
1.      Otokritik Pola Pendidikan Hukum Konvensional yang Memasung Peran Mahasiswa dalam Mengembangkan Pengalaman Belajar
Mencermati besarnya jumlah dan tingginya variasi mata kuliah yang ditawarkan di fakultas hukum, contohnya  di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta beban studi program sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat ) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh ) SKS yang dijadwalkan untuk delapan semester. Pada akhirnya, mahasiswa yang mengambil banyak mata kuliah ini hanya akan memahami hukum yang dipelajarinya secara superficial belaka, dan tidak mendalam.
Pada dasarnya materi ajar dari setiap semester saling berkelindan satu dengan yang lainnya. Namun, begitu banyaknya materi yang diajarkan membuat mahasiswa menjadi tidak fokus dalam memahami materi ilmu hukum. Seyogyanya mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menerapkan hukum tetapi juga mengkaji hukumnya.
Dilihat dari perbandingan antara teori dengan praktik, proporsi materi ajar yang berupa teori lebih banyak daripada materi ajar dalam bentuk praktik. Sehingga pola pikir mahasiswa bercabang menjadi dua yaitu akademis dan praktis. Hal tersebut berimplikasi terjadinya dua kepentingan sehingga sistem ajar ilmu hukum di Indonesia masih campur aduk antara pendidikan hukum akademis dan pendidikan hukum profesi.
Bercermin terhadap hal tersebut sistem pendidikan hukum di Indonesia seharusnya juga dijuruskan sejak awal mahasiswa masuk bangku perkuliahan sehingga mereka dapat matang dalam menentukan arah tujuan pendidikannya. Hal ini berkesesuaian dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja[4] menginginkan adanya pendidikan di fakultas hukum sebagai professional school yang diarahkan untuk mempersiapkan lulusannya menjalani karier di bidang hukum, baik akademik maupun non akademik.
Selain itu, jika dilihat dari sisi teknik pembelajaran yang diterapkan, pendidikan hukum di Indonesia masih bersifat konvensional seperti yang dikemukakan oleh John Dewey. Menurut beliau, belajar dari buku dan guru dipertentangkan dengan proses belajar melalui pengalaman. Analoginya adalah, jika belajar dari buku, mahasiswa hanya stagnan pada isi buku tersebut dan tidak dapat berpikir out of the book.  Selain itu, hingga saat ini masih banyak pengajaran dilakukan secara satu arah atau one way communication. Tidak jarang pengajar mendiktekan catatan kuliahnya kepada mahasiswanya. Mereka akan sekedar mendengar dan mencatat apa yang disampaikan oleh pengajar sehingga tidak ada kemampuan untuk bertanya atau berpikir secara kritis.
Timbul pertanyaan mendasar tentang kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa sebagai bekal terjun ke dalam dunia masyarakat, yakni kemampuan berpikir kritis analitis. Perlu digarisbawahi bahwa belajar hukum bukan menghafal pasal-pasal, namun bagaimana membentuk kerangka berpikir yang kritis sehingga bisa menganalisis persoalan hukum dengan baik. Kemampuan ini yang kemudian berimbas pada kemampuan dasar lainnya yang perlu dimiliki. Selain itu, kemampuan dalam memahami asas, prinsip, dan ketentuan hukum yang dipelajarinya sehingga memahami latar belakang dan logika dibalik mengapa hal tersebut diatur.
Hal tersebut diperkuat oleh kritikan yang disampaikan Hikmahanto Juwana[5] mengenai kelemahan penyelenggaraan pendidikan hukum, antara lain kurang diperhatikannya infrastruktur pendukung. Infrastrukutur pendukung yang kurang mendapat perhatian adalah profesionalitas pengajar, metode pengajaran, keberadaan perpustakaan, keberadaan jurnal, ruang kuliah dan jumlah peserta kuliah yang sangat besar. Pengajar atau dosen itu hanya mengajar tanpa melakukan penelitian atau penulisan di jurnal sehingga tidak sedikit mutunya di bawah standar. Metode pengajaran yang terpaku pada pengajar atau dosen ( teacher center oriented ). Disamping itu, minimnya keberadaan buku-buku di perpustakaan dan jurnal hukum baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris sehingga mahasiswa kurang mendapatkan banyak referensi untuk mengerjakan tugas maupun menganalisis suatu kasus hukum yang diberikan oleh para pengajar.
Seperti yang disampaikan oleh John Dewey[6] bahwa:
“Suatu tanggungjawab utama dari para pendidik ialah bahwa mereka tidak hanya menyadari prinsip umum mengenai terbentuknya pengalaman aktual oleh berbagai kondisi lingkungan, tetapi mereka juga secara konkret menyadari keadaan sekitar macam manakah yang kondusif untuk memperoleh berbagai pengalaman yang menyebabkan proses pertumbuhan.”

Adapun seorang pakar yang melontarkan kritikan terhadap pola pendidikan hukum konvensional. Patut direnungkan pandangan Satjipto Raharjo, bahwa pendidikan tinggi hukum kita lebih didominasi oleh suatu cara pembelajaran yang lebih bersifat teknologis daripada bersifat kemanusiaan atau humane dan sosial.[7] Pembelajaran yang teknologis lebih menekankan pada pembinaan ketrampilan profesi. Maksud dari teknologis yaitu menekankan pada pengetahuan hukum dan cara-cara menggunakan hukum tersebut. Sebagai akibatnya, aspek-aspek manusia dan kemanusiaan yang ada pada hukum menjadi kurang diperhatikan dan terdorong ke belakang.
Mahasiswa hanya diajarkan bagaimana menjalankan dan menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut yang mempengaruhi pola pikir mahasiswa menjadi stagnan. Salah seorang ahli hukum, Gustav Radbruch, mengemukakan bahwa beranjak dari konsep hukum sebagai konsep budaya (cultural concept), yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai, maka ia menekankan pada nilai hukum (the value of law) dan ide hukum (the idea of law). Hukum menurut maknanya dimaksudkan untuk memenuhi ide tersebut. Ide hukum yang dimaksud, ditemukannya dalam tiga elemen, yaitu keadilan (justice), kegunaan atau kemanfaatan (expediency) dan kepastian hukum (legal certainty). Sedangkan mengenai korelasi antara hukum dan hakim yang tampak dalam praktik hukum dimaksudkan untuk mengetahui cara hukum digunakan dan dimaknai di depan pengadilan.[8]
Hukum tidak hanya dimaknai sebagai paksaan tetapi juga sebagai alat pencari keadilan. Dengan kata lain, setiap mahasiswa tidak hanya pandai untuk menerapkan pasal dalam setiap kasus hukum, akan tetapi sejak dini mahasiswa juga diajarkan menghadapi suatu kasus hukum dengan melibatkan aspek psikologis, antara lain komitmen, empati, dedikasi dan kejujuran. Pola pembelajaran yang menekankan pada undang-undang sentris sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan masyarakat sekarang melainkan yang diharapkan pendidikan hukum itu merupakan pendidikan berkualitas manusia dan intelektual, berkemampuan umum yang luas.

2.      Model Pendidikan Progresif di Bidang Hukum yang Berpotensi Meningkatkan Peran Mahasiswa dalam Pengalaman Belajar
Mencermati keterpasungan mahasiswa yang sudah ditulis dalam sub bab sebelumnya maka dari itu penulis menawarkan tiga model pendekatan pendidikan yaitu :
1.      Two-Way Communication
Perlunya penelitian di bidang pendidikan hukum telah diuraikan oleh Prof. Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji[9] bahwa guna menciptakan suatu model pembelajaran progresif, sedikitnya dapat diarahkan pada suatu hal penting yang dapat dikemukakan yakni, membongkar “kenyamanan” model pembelajaran tradisional. Ciri pembelajaran tradisional adalah menggunakan metode satu arah yakni menerapkan pembelajaran yang berpusat pada dosen atau pengajar (teacher oriented). Dosen dianggap sebagai pemilik informasi. Namun tanpa inovasi, yang terjadi adalah proses belajar satu arah yang tidak memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan potensi afektif, kognitif dan psikomotoriknya.
Teknik pembelajaran yang saat ini hanya tertuju pada satu arah (one way communication) yaitu berpusat pada pengajar atau dosen akan diubah ke dalam bentuk yang mendekati jiwa atau aspek psikologis anak didik atau mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vernon A. Megnessen[10] bahwa anak didik belajar : 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang di lihat dan dengar, 70% dari apa yang  dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan lakukan. Ini menunjukkan dosen mengajar dengan ceramah, maka mahasiswa akan mengingat dan menguasai hanya 20% karena mahasiswa hanya mendengarkan. Sebaliknya jika dosen meminta mahasiswa untuk melakukan sesuatu dan melaporkannya maka akan mengingat dan menguasai sebanyak 90%. Oleh karena itu, dalam kegiatan perkuliahan seyogyanya mahasiswa diarahkan untuk lebih aktif. Hal ini tidak lain peran dosen atau pengajar juga diutamakan.  
Dalam penulisan ini, peneliti menawarkan model teknologi two-way communication yang melibatkan peran aktif dosen dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Teknik ini diharapkan dapat membuat mahasiswa memunculkan ide-ide baru dari hasil pemikirannya sendiri. Jadi, di dalam kelas tidak hanya sekedar mendengar dan mencatat materi yang diberikan oleh dosen tetapi ikut serta memberikan argumentasinya.

2.      Experience-Based
Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, bahwa materi ajar ilmu hukum di setiap semesternya saling berkelindan satu sama lainnya. Materi ajar pada awal semester merupakan landasan berpijak untuk mengikuti materi ajar pada semester berikutnya yang keseluruhannya itu harus beruntut dan integratif.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh John Dewey[11] bahwa pelajaran bagi pendidikan progresif adalah bahwa pendidikan itu secara agak mendesak menuntut adanya suatu filsafat pendidikan yang didasarkan pada pengalaman. Pendidikan progresif tersebut dimaksudkan untuk memberikan arah baru bagi pendidikan tinggi hukum di Indonesia, yaitu berupa optimalisasi peran mahasiswa dengan menerapkan teknik pembelajaran SCO (Student Center Oriented).
Model pembelajaran yang dapat diterapkan di bidang pendidikan hukum  secara lebih implementatif ditandai dengan adanya pergeseran pusat belajar dari teacher oriented ke arah student oriented yang dapat ditemukan dalam berbagai referensi pendidikan progresif, salah satu contohnya adalah metode pembelajaran yang diaplikasikan dalam quatum teaching. Quantum teaching selalu berpusat pada ‘apa yang masuk akal bagi para pelajar’[12]. Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.[13]
Dengan demikian, mahasiswa dapat berpikir kritis dalam menanggapi isu hukum yang ada apabila interaksi yang terjadi di dalam kelas berlangsung dengan kondusif. Dalam hal ini, suasana kelas yang didukung dengan adanya diskusi interaktif antara mahasiswa dengan dosen maupun antar mahasiswa menciptakan ketertarikan daya olah pikir untuk terus berkembang dalam mempertahankan argumentasi yang dibuat bahkan pemikiran baru dilontarkan.
Keduanya merupakan model pembelajaran yang efektif yang dapat merangsang peran mahasiswa dalam proses belajar. Hal ini dalam pendidikan ilmu hukum dapat diaplikasikan dalam bentuk pembelajaran sebagai berikut :
1        Non Kompetisi, dalam hal ini, mahasiswa mengaplikasikan ilmu hukum yang diperolehnya terkait dengan akademiknya. Mahasiswa menyerap ilmu yang diberikan oleh dosen.
Adapun non kompetisi tersebut dibagi menjadi 2, yaitu :
a.       Lisan, non kompetisi dalam lingkup ini, dapat diwujudkan melalui :
1)      Focus Group Discussion;
2)      Presentasi;
3)      Public Speaking
b.      Tulisan, non kompetisi dalam lingkup ini, mahasiswa menganalisis sebuah kasus atau bedah kasus (eksaminasi) yang dapat diwujudkan melalui :
1)      Makalah;
2)      Artikel;
3)      Paper
2        Kompetisi, dalam hal ini mahasiswa membuat suatu karya atau ikut serta dalam event tertentu yang tujuannya mengimplementasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan. Dosen juga mempunyai andil yang besar untuk membimbing mahasiswanya yang ikut dalam kompetisi tersebut. Adapun kompetisi dibagi menjadi 3, yaitu :
a.       Lisan, kompetisi dalam lingkup ini, dapat diwujudkan melalui :
1)      lomba debat bidang hukum;
2)      diskusi panel
b.      Tulisan, kompetisi dalam lingkup ini dapat diwujudkan melalui :
1)      LKTM (Lomba Karya Tulis Mahasiswa);
2)      PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa);
3)      lomba essay;
4)      penulisan koran;
5)      legal drafting ( teknik pembuatan peraturan perundang-undangan)
c.       Lisan dan Tulisan, kompetisi yang berinteraksi dengan cara memainkan peran (role play), dapat diwujudkan berupa :  Mootcourt (persidangan semu). Mootcourt merupakan contoh aplikasi riil yang dapat dikembangkan untuk dijadikan “jembatan” penghubung antara law in book dan law in action dalam inovasi model pembelajaran mootcourt.
Proses pembelajaran di atas memberikan pengalaman-pengalaman pada mahasiswa untuk meningkatkan daya berpikir terutama dalam menerapkan dan mengkaji hukum, mereka dapat mengaplikasikan pengalaman itu di  dunia kerja sebagai ahli hukum yang profesional.

D.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka pebulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Sistem pendidikan ilmu hukum yang diterapkan saat ini masih bersifat konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya teknik pembelajaran yang masih menggunakan one way communication yakni komunikasi dalam proses belajar mengajar mahasiswa berpusat pada satu informasi yakni dosen atau dapat diistilahkan sebagai Teacher Center Oriented. Selain itu, besarnya jumlah dan tingginya variasi mata kuliah yang ditawarkan di fakultas hukum juga menyebabkan mahasiswanya tidak fokus terhadap materi ajar yang diberikan. Pada akhirnya, mahasiswa yang mengambil banyak mata kuliah ini hanya akan memahami hukum yang dipelajarinya secara superficial belaka, dan tidak mendalam.
2.      Mencegah keterpasungan mahasiswa terhadap pendidikan hukum yang konvensional, penulis menawarkan dua model pendekatan pendidikan yakni, Two-Way Communication dan Experience Based.  Kedua model pendidikan hukum tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk non-kompetisi  dan kompetisi. Dua bentuk ini melibatkan peran aktif dosen dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar sehingga dapat menguatkan interaksi antar keduanya yang didasarkan pada model quantum teaching.  

E.     Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah dijabarkan, penulis mengemukakan saran sebagai berikut :
1.    Pendidikan hukum konvensional yang berpusat pada dosen atau teacher center oriented hendaknya ditinggalkan karena telah memasung mahasiswa dalam pengalaman belajarnya. Teknik pembelajaran yang lebih tepat sesuai dengan perkembangan adalah menekankan pada student center oriented yang memainkan peranan penting pada mahasiswa dalam proses belajar.
2.    Model pendidikan yang ditawarkan oleh penulis hendaknya dijadikan sebagai acuan dalam mewujudkan pendidikan hukum yang profesional karena model pendidikan progresif inilah yang menempatkan mahasiswa sebagai pusat belajar atau student central oriented  dalam meningkatkan daya kritis mahasiswa menghadapi kasus-kasus hukum.



[1] Harkristuti Harkrisnowo, “Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia”, Jentera, Edisi Khusus, 2003. Hlm. 5.

[2] Ibid.
[3] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. 2008. Hal 35.
[4] Harikristuti Harikrisnowo, “Selintas Sejarah dan Prospek Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia”, Jentera, 2003. Hlm. 11.
[5] Hikmahanto Juwana. Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia, dapat diakses di http://www.pemantauperadilan.com/opini/04.REFORMASI%20PENDIDIKAN%20HUKUM%20DI%20INDONESIA.pdf.
[6] John Dewey.  Pengalaman dan Pendidikan. Yogyakarta. Kepel Press. 2008. Hlm. 29.
[7] Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Sidoarjo. Mas Media Buana Pustaka. 2009. Hlm 91
[8] Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum (Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama,Bandung.
[9] Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji. Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Sidoarjo. Mas Media Buana Pustaka. 2009. Hlm. 97.
[10] Quantum Teaching, Mengajar yang Menyenangkan dalam http://chumy2.wordpress.com/2009/01/07/quantum-teaching-mengajar-yang-menyenangkan/ diakses pada tanggal 18 September 2010 pukul 21:52 WIB.
[11] Opcit. Hlm. 17.
[12] Michael Grinder dalam Bobbi de Porter dkk (Pujian Untuk Quantum teaching), 2007, Quantum Teaching Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas, Kaifa, Bandung
[13] Loc Cit.